Visit My Youtube Channel Click Here Support Creator [Click Here]

Kewajiban Membuat Kontrak dalam Dua Bahasa Bila Melibatkan Pihak Asing

Hardipa Asyifa
Please wait 0 seconds...
Scroll Down and click on Go to Link for destination
Congrats! Link is Generated


Dalam dunia bisnis internasional, kontrak atau perjanjian merupakan salah satu instrumen penting yang mengatur hubungan antara para pihak. Ketika melibatkan pihak asing, muncul pertanyaan krusial: apakah kontrak tersebut wajib disusun dalam dua bahasa? Artikel ini bertujuan untuk mengulas secara komprehensif mengenai kewajiban penggunaan bahasa dalam kontrak, dasar hukumnya di Indonesia, serta praktik terbaik dalam penyusunan kontrak bilingual.


Dasar Hukum Kontrak dan Syarat Sahnya

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, kontrak atau perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Untuk dianggap sah, perjanjian harus memenuhi empat syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: (1) kesepakatan para pihak; 

(2) kecakapan untuk membuat perjanjian; 

(3) objek tertentu; dan 

(4) sebab yang halal. Dua syarat pertama bersifat subjektif, sementara dua sisanya bersifat objektif.

Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan jika syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (null and void). Hal ini berarti perjanjian tersebut tidak menghasilkan hak dan kewajiban yang sah bagi para pihak.


Kewajiban Bahasa dalam Kontrak

Ketentuan mengenai bahasa dalam kontrak tidak secara eksplisit diatur dalam KUH Perdata, tetapi diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (UU 24/2009), serta Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (Perpres 63/2019).

Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 menyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan WNI. Jika perjanjian juga melibatkan pihak asing, Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa kontrak harus juga dibuat dalam bahasa asing pihak tersebut dan/atau bahasa Inggris. Ketentuan ini dipertegas lagi dalam Pasal 26 ayat (2) Perpres 63/2019.


Implikasi Hukum dan Praktik Bilingual

Penyusunan kontrak dalam dua bahasa bertujuan untuk memastikan bahwa semua pihak memahami isi kontrak secara menyeluruh dan mencegah terjadinya perselisihan akibat perbedaan interpretasi. Dalam hal terjadi perbedaan tafsir antara bahasa Indonesia dan terjemahan, maka bahasa yang dijadikan acuan adalah bahasa yang disepakati dalam perjanjian (Pasal 26 ayat (4) Perpres 63/2019).

Menariknya, meskipun UU 24/2009 dan Perpres 63/2019 tidak menetapkan sanksi eksplisit bagi pelanggaran kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia, terdapat potensi risiko hukum. Salah satunya adalah potensi pembatalan kontrak jika bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, terutama jika terdapat klaim dari pihak ketiga yang merasa dirugikan.

Dalam praktiknya, penggunaan kontrak bilingual juga menjadi standar dalam transaksi internasional sebagai bentuk mitigasi risiko hukum. Oleh karena itu, penting bagi para pihak untuk menyepakati terlebih dahulu bahasa yang akan digunakan dalam perjanjian dan memastikan bahwa terjemahan disusun oleh penerjemah hukum tersumpah guna menjaga akurasi dan validitas hukum dokumen.


Kesimpulan

Dengan mempertimbangkan aspek hukum dan praktik terbaik, pembuatan kontrak dalam dua bahasa sangat dianjurkan bila melibatkan pihak asing. Hal ini tidak hanya memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, tetapi juga menjadi upaya preventif dalam menghindari konflik hukum dan memastikan kepastian hukum bagi seluruh pihak yang terlibat.


Referensi

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Pasal 1313 dan 1320.

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

3. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.

4. Black’s Law Dictionary, Bryan A. Garner, 10th Edition, West Publishing, 2008.

5. Retna Gumanti. “Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUH Perdata)”. Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1, 2012.

6. Adelifka, S.H. “Wajibkah Membuat Kontrak dalam Dua Bahasa Jika Melibatkan Pihak Asing?”, Hukumonline.com, 2024. 

إرسال تعليق

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.