Penjelasan dan Analisis Pasal 1866 KUH Perdata: Jenis-Jenis Alat Bukti dalam Perkara Perdata
Dalam sistem hukum Indonesia, pembuktian
memegang peranan sangat penting dalam menentukan kebenaran suatu peristiwa
hukum. Dalam konteks perkara perdata, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) menjadi dasar hukum yang mengatur alat-alat bukti yang sah dan
dapat digunakan di pengadilan. Bunyi Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
“Alat pembuktian meliputi:
(1) Bukti tertulis;
(2) Bukti saksi;
(3) Persangkaan;
(4) Pengakuan;
(5) Sumpah.
Semuanya tunduk pada aturan-aturan yang
tercantum dalam bab-bab berikut.”
Dari susunan tersebut, terlihat bahwa bukti
tertulis atau surat menempati urutan pertama, yang menandakan bahwa alat bukti
ini dianggap paling kuat dan utama dalam pembuktian perkara perdata. Hal ini
berbeda dengan perkara pidana yang alat bukti utamanya adalah keterangan saksi,
sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Perbedaan ini disebabkan oleh sifat
perkara itu sendiri: dalam perkara perdata, perjanjian dan hubungan hukum
sering kali dibuat secara tertulis untuk kepentingan pembuktian di kemudian hari.
Sebaliknya, dalam perkara pidana, pelaku biasanya berusaha menghilangkan jejak
dan bukti tertulis, sehingga keterangan saksi menjadi lebih dominan.
1. Bukti Tertulis atau Surat
Menurut Sudikno Mertokusumo, bukti tertulis adalah segala sesuatu yang memuat
tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang
dan digunakan untuk membuktikan suatu hal di pengadilan. Sedangkan menurut
Riduan Syahrani, alat bukti tulisan adalah segala sesuatu yang mengandung
pikiran tertentu yang bisa dimengerti dalam bentuk tanda-tanda bacaan.
Bukti tulisan bisa berupa surat perjanjian,
kuitansi, surat kuasa, akta otentik, dan lain sebagainya. KUHPer mengatur bukti
tulisan dalam Pasal 1867 hingga Pasal 1894. Bukti tulisan dibagi menjadi dua
jenis, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan, yang masing-masing memiliki
kekuatan pembuktian berbeda.
2. Bukti Saksi
Kesaksian adalah pernyataan dari seseorang yang melihat, mendengar, atau
mengalami langsung suatu peristiwa hukum. Pasal 1895 sampai Pasal 1912 KUHPer
mengatur tentang tata cara penggunaan saksi sebagai alat bukti.
Menurut Sudikno Mertokusumo, kesaksian harus
disampaikan secara lisan dan pribadi di hadapan sidang pengadilan, serta tidak
boleh digantikan oleh surat atau diwakilkan. Saksi juga harus menyampaikan
hanya hal-hal yang benar-benar ia ketahui secara langsung.
Namun, tidak semua orang dapat menjadi saksi.
KUHPer dalam Pasal 1910 dan 1912 melarang kesaksian dari:
- Keluarga sedarah dalam garis lurus salah satu pihak.
- Suami atau istri, meskipun sudah bercerai.
- Anak di bawah usia 15 tahun.
3. Bukti Persangkaan
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu fakta yang telah terbukti
menuju kepada fakta yang belum terbukti. KUHPer membedakan antara persangkaan
hakim dan persangkaan undang-undang.
- Persangkaan hakim adalah kesimpulan logis
yang ditarik oleh hakim berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
- Persangkaan undang-undang bersumber langsung dari ketentuan hukum, seperti
Pasal 250 KUHPer yang menyatakan bahwa setiap anak yang lahir dalam ikatan
perkawinan dianggap sebagai anak dari suami sang ibu.
Ketentuan mengenai persangkaan diatur dalam
Pasal 1915 sampai 1922 KUHPer.
4. Bukti Pengakuan
Pengakuan adalah pernyataan dari salah satu pihak yang membenarkan kebenaran
pernyataan pihak lawan. Pengakuan ini bisa bersifat di dalam sidang (Pasal
1925–1926) atau di luar sidang (Pasal 1927–1928).
- Pengakuan di dalam sidang memiliki kekuatan
hukum yang kuat dan tidak dapat dicabut, kecuali jika terbukti bahwa pengakuan
tersebut diberikan karena kekeliruan.
- Pengakuan di luar sidang dapat berupa tertulis atau lisan, namun kekuatan
pembuktiannya tidak sekuat pengakuan di dalam sidang.
5. Alat Bukti Sumpah
Sumpah adalah alat bukti terakhir dan biasanya digunakan sebagai upaya akhir
untuk menyelesaikan perkara ketika alat bukti lainnya tidak cukup meyakinkan.
Sumpah dianggap sebagai pernyataan yang diucapkan dengan melibatkan nama Tuhan
sebagai jaminan atas kebenaran.
Menurut Pasal 1929 sampai Pasal 1945 KUHPer,
terdapat dua jenis sumpah:
- Sumpah pemutus: diminta oleh salah satu pihak kepada lawannya dan jika
diterima atau ditolak, dapat menentukan putusan hakim.
- Sumpah tambahan (sumpah jabatan): diperintahkan oleh hakim untuk memperkuat
kebenaran suatu klaim.
Kesimpulan
Pasal 1866 KUH Perdata secara tegas menetapkan lima alat bukti utama dalam
perkara perdata. Dalam praktiknya, bukti tertulis sering kali menjadi dasar
yang paling kuat karena dibuat dengan kesadaran untuk dijadikan alat bukti.
Sedangkan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah menjadi pelengkap atau
alternatif ketika bukti tertulis tidak tersedia atau tidak cukup.
Pemahaman yang baik terhadap jenis-jenis alat
bukti ini akan membantu para pencari keadilan—baik penggugat maupun
tergugat—dalam menyusun argumen hukum dan strategi pembuktian yang tepat di
pengadilan.
Daftar Referensi:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Pasal 1866 – 1945.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 184.
3. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
2006.
4. H. Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999.
5. Martha Eri Safira, Hukum Perdata: Teori dan Praktik, Prenadamedia Group,
Jakarta, 2021.
6. R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2009.